Sari
Artikel ini
membahas mengenai sawan yang
dipercayai oleh masyarakat Desa Boja sebagai penyebab penyakit. Bagi masyarakat
Jawa penyakit tidak hanya berasal dari virus atau kuman, tetapi juga bisa
berasal dari hal-hal supranatural. Sawan
merupakan salah satu penyebab penyakit yang bersumber dari dua hal, yakni
pengantin dan mayat. Masyarakat Desa Boja percaya bahwa tidak hanya anak-anak
yang bisa terkena sawan, tetapi juga
orang dewasa. Masyarakat memiliki dua cara dalam mengobati sawan, yakni dengan self treatment dan perawatan kedukunan. Praktek
pengobatan medis modern yang sudah banyak berdiri, tidak menyurutkan
kepercayaan masyarakat Desa Boja terhadap sawan.
Dokter sebagai praktisi penyembuh modern dianggap tidak mampu menyembuhkan
penyakit yang disebabkan oleh sawan,
meskipun beberapa gejala sawan mampu
dideteksi. Dengan metode observasi dan wawancara akan dijelaskan mengenai
kepercayaan masyarakat Desa Boja terhadap sawan
dan parktek pengobatannya.
Kata Kunci: Kepercayaan masyarakat, penyakit, sawan, praktek pengobatan
Abstract
This article discusses about sawan which is believed
by the people at Boja as the cause of disease. The Javanese believe that
diseases come not only from a virus or bacteria but also from supranatural
things. Sawan is one of the causes of a disease that is derived from two
things, they are bride and cropse. People at Boja believe that not only children
can get sawan but also adults, too. People try to cure sawan using two methods.
First, they use self treatment method, and the second one they use treatment from
the wizard. The existence of the modern
medical treatment does not prevent the people at Boja to believe in sawan.
Although the symptoms of sawan can be detected by the modern medical treatment,
people’s belief about sawan cannot be diminished. Even if the symptoms of sawan
can be detected, the doctors as the modern healer do not get the trust from the
people to cure the disease that causes from sawan. Through observation and interview methods will make
clear about the Boja people’s beliefs toward sawan and its medical treatment.
Keywords:
People’s belief, disease, sawan, medical treatment
Pendahuluan
Setiap masyarakat memiliki kebudayaan
yang dilestarikan oleh para pendukungnya. Kebudayaan dapat dibagi menjadi tujuh
unsur pokok, yaitu: (1) bahasa, (2) sistem pengetahuan, (3) organisasi sosial,
(4) sistem peralatan hidup dan teknologi, (5) sistem matapencaharian hidup, (6)
sistem religi, dan (7) sistem kesenian (Koentjaraningrat 1983:206). Sistem
medis dapat dimasukkan kedalam unsur sitem pengetahuan yang mencakup pemahaman
masyarakat terhadap suatu penyakit dan praktek pengobatannya. Masyarakat
Desa Boja memiliki kepercayaan mengenai adanya penyakit yang disebabkan oleh sawan.
Pengetahuan mengenai sawan sudah
diperoleh secara turun temurun sehingga sulit dihilangkan. Praktek pengobatan sawan yang dilakukan oleh beberapa
praktisi medis tradisional pun masih ada hingga saat ini. Dari observasi yang
diperoleh, ada sekitar lima orang praktisi penyembuh sawan di Desa Boja.
Sawan
diyakini sebagai sengkala atau bahaya
yang berasal dari pengantin dan orang yang meninggal. Upacara pernikahan yang
digelar dengan bertabur bunga dan wangi-wangian, serta diiringi oleh gamelan
yang mendayu-dayu, dipercayai mampu menghadirkan arwah sanak saudara yang sudah
meninggal untuk turut menyaksikan pernikahan tersebut. Bagi anak-anak yang
berada disekitar orang yang nduwe gawe
(menggelar hajat) maka akan berpotensi terkena sawan nganten jika tubuh mereka dalam kondisi kosong. Masyarakat
Jawa pada umumnya termasuk masyarakat Boja mempercayai adanya kakang kawah adhi ari-ari, artinya
manusia dilahirkan ke dunia ini tidak sendiri, ia didampingi oleh kakak berupa kawah (air ketuban yang selalu keluar
mendahului proses kelahiran) dan ari-ari
(plasenta yang keluar setelah bayi dilahirkan).
Masyarakat mempercayai kawah yang keluar bukan sekedar air, tetapi memiliki wujud yang
sama seperti bayi yang dilahirkan, begitu juga dengan ari-ari. Kawah dan ari-ari inilah yang diyakini selalu
mendampingi manusia semasa hidupnya, menjaga agar manusia terhindar dari bahaya
dan perbuatan yang tidak terpuji, namun ada kalanya kedua wujud ini meninggalkan manusia,
sehingga tubuh tidak memiliki pelindung. Kondisi seperti ini sering disebut
dengan suwung (kosong), dan ketika
seseorang dalam keadaan suwung maka sengkala yang dibawa oleh arwah tadi
mampu masuk kedalam tubuh manusia, sehingga dapat mengganggu berjalannya fungsi
tubuh. Proses masuknya sawan nganten
dan sawan mayit (sawan yang dibawa oleh jenazah) kedalam tubuh manusia pada dasarnya
sama, yakni melalui sengkala yang
dibawa angin.
Masyarakat mengembangkan suatu pengertian dan
kepercayaan terhadap sebuah penyakit yang juga disertai dengan upaya penanganan
atau disebut sebagai sistem medis. Sistem medis merupakan suatu pola dari
pranata sosial-budaya yang menyangkut perilaku yang sengaja untuk meningkatkan
kesehatan, meskipun hasilnya belum tentu baik untuk kesehatan (Fred Dunn:
1976). Hal ini pun berlaku pada masyarakat Desa Boja mengenai kepercayaan
terhadap penyakit yang disebabkan oleh sawan.
Metode
Penelitian
Dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah
studi kasus, yaitu penelitian yang melihat objek penelitian sebagai kesatuan
yang terintegrasi, yang penelaahannya pada satu kasus dan dilakukan secara
intensif, mendalam, mendetail, dan komprehensif. Studi kasus digunakan karena
fenomena sawan sudah dikenal di
beberapa daerah, ada yang meyakini bahwa sawan
adalah penyakit yang rentan menyerang anak-anak, ada pula yang mempercayai bahwa
sawan disebabkan oleh hewan seperti
babi, yang mengakibatkan kejang atau ayan. Kepercayaan terhadap sawan pada masyarakat Desa Boja berbeda
dengan sawan yang dikenal oleh
masyarakat secara umum. Sawan tidak
hanya rentan terhadap anak-anak, tetapi juga pada orang dewasa. Sakit yang
disebabkan oleh sawan pun
bermacam-macam tergantung dari klasifikasi sawan
itu sendiri. Tipe penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif yaitu
penelitian yang bertujuan menggambarkan berbagai kondisi, situasi, dan variabel
yang menjadi objek penelitian. Penelitian ini bersifat deskriptif dan cenderung
menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Proses dan makna (perspektif
subjek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif.
Subjek dalam penelitian ini adalah masyarakat Desa
Boja. Untuk memperoleh data yang dibutuhkan peneliti mengambil delapan informan
yang terdiri dari lima orang sebagai informan utama dan tiga orang sebagai informan
kunci. Pertimbangan pemilihaan informan utama didasarkan pada kepercayaan
masyarakat terhadap sawan dan praktek
pengobatannya, sementara pertimbangan pemilihan informan kunci didasarkan pada
pengetahuan lebih tentang sawan yang
dimiliki.
Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi,
wawancara, dan dokumentasi. Teknik observasi yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu observasi langsung, dimana penulis mengadakan pengamatan
secara langsung terhadap subyek yang diteliti yakni masyarakat Desa Boja dan
praktek pengobatan terhadap penyakit yang disebabkan oleh sawan. Penulis menggunakan wawancara terstruktur dan wawancara
mendalam dalam penelitian ini. Wawancara terstruktur merupakan wawancara yang
menggunakan instrumen penelitian, sementara wawancara mendalam digunakan untuk
mendapatkan gambaran yang lengkap dan lebih mendalam tentang kepercayaan
masyarakat terhadap penyakit yang disebabkan oleh sawan dan praktek pengobatannya di Desa Boja Kecamatan Boja
Kabupaten Kendal. Metode dokumentasi dalam penelitian ini juga penulis lakukan,
penulis mengambil dokumen yang berhubungan dengan profil atau gambaran umum Desa
Boja, foto-foto pada saat mengamati pengobatan terhadap seseorang yang terkena sawan, dan juga pada saat penulis melakukan wawancara sehingga dapat
digunakan untuk mendukung kelengkapan data yang ada pada penulis.
Pembahasan
Kecamatan Boja adalah salah satu kecamatan di
Kabupaten Kendal yang memiliki pusat pemerintahan di Desa Boja. Topologi Desa
Boja yakni merupakan Desa Pegunungan dan Desa Perkotaan. Desa Boja yang
merupakan satu dari 18 desa di Kecamatan Boja memiliki luas wilayah 3,67 Km2,
yang terbagi menjadi 10 dusun, diantaranya yaitu: Dusun Jagalan, Dusun Sapen,
Dusun Gentan Lor, Dusun Gentan Kidul, Dusun Kauman, Dusun Gedangan, Dusun
Penaton, Dusun Pilang, Dusun Klesem, dan Dusun Ngadibolo. Batas wilayah Desa
Boja sebelah utara adalah Desa Meteseh, sebelah selatan berbataan dengan Desa
Salamsari/Belimbing, sebelah timur berbatasan dengan Desa Tampingan/Campurejo,
dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Bebengan.
Masyarakat Desa Boja dilihat dari segi sosial budaya
masih memegang teguh kerukunan dan gotong royong yang cukup baik. Masyarakat
tidak terlihat memiliki konflik yang menonjol sehingga merusak kestabilan
sosial. Masyarakat Desa Boja juga masih menjalankan tradisi yang diwarisi
secara turun temurun seperti Baritan,
Nyadran, Dun-dunan, dan satu tradisi besar di Desa Boja adalah Syawalan atau merti desa yang diadakan
pada bulan Syawal, tepatnya yakni tujuh hari setelah Hari Raya Idul Fitri.
Makna
Sehat dan Sakit Bagi Masyarakat Desa Boja
Konsep sehat dan sakit yang dimiliki oleh setiap
manusia berbeda antara satu dengan yang lain. Konsep sehat dan sakit juga dapat
dipengaruhi oleh kebudayaan yang dimiliki masyarakat. Bagi sebagian besar
masyarakat Desa Boja sehat adalah kondisi dimana masyarakat dapat melakukan
aktivitas sehari-hari. Gangguan virus pada tubuh seperi flu dan batuk tidak
dianggap sebagai sakit, karena meskipun virus tersebut menyerang tubuh, seseorang
tetap dapat melakukan aktivitas sehari-hari.
Sakit adalah kondisi dimana seseorang tidak bisa
bekerja seperti saat ia sehat, misalnya masyarakat Desa Boja Kecamatan Boja
Kabupaten Kendal yang memiliki pengetahuan mengenai sawan sebagai penyebab suatu penyakit. Sawan yang dipercayai berasal dari pengantin dan mayat menyebabkan
seseorang yang terkena menjadi lemas, pucat dan susah tidur. Seseorang yang
terkena sawan akan mengalami kendala
dalam menjalankan aktivitas sehari-harinya. Bagi masyarakat Boja pada umumnya
seseorang dikatakan sakit apabila sudah tidak mampu menjalankan peran sosialnya
dengan baik.
“Wong Lara ki ya
nek wis ra isa apa-apa. Meh napa-napa kangelan, lemes, ngono kui lara. Tapi nek
mung watuk pilek yo ra tak anggep lara. Aku dewe nek watuk pilek angger isa
mandang gawe ao tak tandangi. Ning nek sawanen ya kui lara, kudu ditambani,
wong nek sing kena sawan hawane lemes, meh apa-apa males, nek kebanjur kan
dadine ra isa mandang gawe.”
“Orang sakit itu ya kalau sudah tidak
bisa apa-apa. Mau melakukan apapun susah, lemas, seperti itu namanya sakit.
Tapi kalau hanya batuk pilek ya tidak saya anggap sakit. Saya sendiri kalau
batuk pilek asal bisa bekerja ya saya kerjakan. Tapi kalau sawanen ya itu sakit, harus diobati, orang kalau kena sawan itu lemas, mau melakukan apa-apa
malas, kalau sudah terlanjur kan jadi tidak bisa bekerja.” (Tinah, 9 Maret 2014
pukul 16.00 WIB)
Secara biologis seseorang yang sedang batuk atau
pilek tentu mengalami gangguan fungsi dalam tubuh yang disebabkan oleh virus.
Organ dalam tubuh tidak dapat menjalankan fungsi sebagaimana mestinya, tetapi
gangguan yang demikian tidak dianggap sakit oleh sebagian besar masyarakat Desa
Boja karena seseorang yang mengalami hal tersebut masih dapat menjalankan
aktivitas dan peran sosialnya. Sawan
yang merupakan sebab penyakit berdasarkan pengetahuan masyarakat Desa Boja,
justru dianggap sebagai sakit yang harus segera ditangani karena apabila tidak
ditangani akan mengganggu aktivitas. Hal tersebut sama dengan apa yang
diungkapkan oleh Foster dan Anderson: harus dibedakan antara penyakit (disease) sebagai suatu konsep patologi,
dan penyakit (illness) sebagai suatu
konsep kebudayaan. Masyarakat mendefinisikan penyakit dalam cara yang berbeda,
suatu gejala yang merupakan bukti adanya penyakit dalam suatu masyarakat,
mungkin akan diabaikan oleh masyarakat lainnya (Foster Dan Anderson, 2006:50)
Kepercayaan
Masyarakat Desa Boja Terhadap Sawan
Sawan
merupakan penyakit yang sudah banyak dikenal oleh masyarakat Jawa. Sawan dikenal secara umum sebagai
penyakit yang rentan menyerang anak-anak atau penyakit yang ditandai dengan
kejang, bagi masyarakat Desa Boja sawan
bukan merujuk pada suatu jenis penyakit, tetapi merupakan sebab sakit. Sakit
yang disebabkan oleh sawan pun
bermacam-macam, seperti demam, gatal, hingga kesulitan dalam mendengar. Sawan yang dikenal oleh masyarakat Desa
Boja juga tidak hanya rentan menyerang anak-anak, tetapi juga orang dewasa.
Sawan bukan
merupakan hal yang asing bagi masyarakat Desa Boja, hampir semua masyarakat
Desa Boja mengenal sawan. Banyak
diantara masyarakat yang mengaku pernah terkena sawan dengan gejala lemas, malas beraktivitas, dan susah tidur.
Sebagian besar masyarakat Desa Boja mengenal sawan, namun tidak semua masyarakat dapat mendeskripsikan apa itu sawan. Masyarakat hanya menjelaskan
dengan menyebutkan jenis sawan yang
diketahui, seperti sawan mayit dan sawan nganten.
“Sawan ki apa ya mbak, sawan ya sawan. Kaya
mono isa sing ngenangi kui nganten, isa wae wong mati. Nek sing ngenangi
nganten ya jenenge sawan nganten, nek sing ngenangi mayit ya jenenge sawan
mayit. Biasane sawan ki nek ning dokter diarani tifus. Tapi ya ra mari mbok wis
ping pira-pira ditambani dokter.”
“Sawan itu apa ya mbak, sawan ya sawan. Yang mana bisa berasal dari pengantin, bisa juga dari
jenazah. Jika berasal dari pengantin namanya sawan nganten, kalau berasal dari jenazah namanya sawan mayit. Biasanya sawan itu kalau di dokter didiagnosa
tifus. Tapi meski demikian juga tetap tidak sembuh walaupun sudah berkali-kali
diobati dokter.” (Yanti 44th 7 Maret 2014 Pukul 13.00)
Kepercayaan terhadap sawan sebagai penyebab suatu penyakit memang tidak bisa diungkapkan
secara terstruktur oleh masyarakat Desa Boja, tetapi pengetahuan dan
kepercayaan itu tetap ada dalam gagasan pikiran masyarakat, ini disebut sebagai
sistem
“teori penyakit” (Foster dan Anderson, 2006:46). Sistem teori penyakit meliputi
kepercayaan-kepercayaan mengenai ciri-ciri sehat, sebab-sebab sakit serta
pengobatan dan teknik-teknik penyembuhan lain yang digunakan oleh para dokter.
Masyarakat Desa Boja memiliki sitem teori penyakit mengenai sawan. Sawan muncul karena seseorang yang sedang kosong terkena angin yang
membawa aroma khas tanah pemakaman ketika ada orang yang meninggal dan bunga
pengantin saat ada upacara pernikahan. Gejala sawan kadang memang dapat dideteksi oleh dokter, namun hanya bisa
disembuhkan oleh praktisi penyembuh sawan.
Sistem teori penyakit merupakan suatu sistem ide konseptual , suatu konstruk
intelektual, bagian dari orientasi kognitif anggota kelompok, dalam hal ini
adalah masyarakat Desa Boja yang mempercayai sawan.
Sawan
merupakan penyebab penyakit yang diyakini oleh masyarakat Desa Boja berasal
dari mayat dan pengantin. Sawan dapat
muncul karena ada angin yang membawanya masuk kedalam tubuh manusia atau
disebut dengan masuk angin, sehingga tubuh mengalami gangguan fungsi yang dapat
melemahkan sistem kekebalan tubuh. Berdasarkan klasifikasi penyakit masyarakat
Jawa menurut Geertz (1989:131-133) sawan
termasuk kedalam kategori yang kedua, yakni penyakit yang belum umum,
digolongkan dalam empat variasi: darah kotor, kekurangan darah, kekosongan
jiwa, dan kemasukan udara (panas atau benda-benda asing lain yang kadang-kadang
dimasukkan kedalam tubuh melalui sihir).
Masyarakat Desa Boja secara umum mengenal ada dua jenis sawan, yaitu sawan mayit dan sawan nganten.
Sawan mayit yaitu sawan yang berasal dari mayat dan sawan nganten yang berasal dari
pengantin. Rangkaian upacara pernikahan dan upacara kematian yang sakral dapat
berakibat buruk bagi mereka yang sedang berada dalam kondisi jiwa yang kosong.
Bagi praktisi penyembuh sawan,
klasifikasi dibedakan menjadi tiga jenis, yang ketiga yakni sawan layon. Sawan
Layon merupakan jenis sawan
yang diklasifikasikan oleh praktisi penyembuh. Sawan layon berasal dari orang yang meninggal dengan cara tragis,
yakni kecelakaan atau bunuh diri. Berikut adalah tabel perbedaan jenis sawan:
Perbedaan
Jenis Sawan Pada Masyarakat Desa Boja
Pembeda
|
Sawan
Mayit
|
Sawan
Nganten
|
Sawan
Layon
|
Subjek yang
terkena
|
Anak-anak dan orang dewasa
|
Anak-anak
|
Anak-anak dan orang dewasa
|
Asal
Usul
|
Jenazah orang meninggal
|
Pengantin
|
Kematian tragsis (kecelakaan/bunuh
diri)
|
Sebab
|
Melayat, Mengurus jenazah, Berpapasan
dengan rombongan pengiring jenazah
|
Kondangan (datang keacara pernikahan)
|
Kondisi tubuh yang kosong dihampiri
oleh ruh seseorang yang meninggal tragis
|
Gejala
|
Lemas, kuku dan mata kekuningan, malas
melakukan aktivitas
|
Demam dengan suhu tubuh yang sangat
tinggi
|
Telinga berdengung atau gatal
diseluruh tubuh
|
Pencegahan
|
Mengenakan dlingo bengkle, turut
menghantar jenazah ke pemakaman, membersihkan diri dengan cara berwudlu atau
mandi setelah melayat
|
Mengenakan bedak pengantin yang
disediakan oleh pemilik hajat
|
Tidak ada upaya pencegahan yang
dilakukan untuk menghindari sawan layon
|
Praktek
Pengobatan Terhadap Sawan Pada
Masyarakat Desa Boja
Masyarakat Desa
Boja mengenal sawan sebagai penyebab
suatu penyakit memiliki dua cara dalam sistem perawatan kesehatan, yakni: (1) self treatment dan (2) perawatan
kedukunan (Kleinmann, 1980). Self
treatment (perawatan sendiri) merupakan upaya perawatan kesehatan dengan
bantuan keluarga. Self treatment
dilakukan apabila pasien mulai menunjukkan gejala awal adanya suatu penyakit,
misalnya ketika seseorang diduga terkena sawan
dengan gejala lemas, bagian tubuh tertentu nampak kekuningan, maka anggota
keluarga akan segera memberikan jamu sawan
yang dibeli dari penjual jamu gendong keliling maupun dari toko jamu.
Pengobatan dengan memberikan jamu kepada seseorang yang diduga terkena sawan merupakan langkah awal dalam
menangani kasus sawan, jika seseorang
tetap merasa tubuhnya tidak segera membaik maka langkah selanjutnya yakni
dibawa kepada praktisi penyembuh sawan.
Perawatan sendiri atau self treatmen
yang dilakukan oleh masyarakat Desa Boja untuk menangani sawan juga didampingi oleh perawatan kedukunan, meskipun masyarakat
Desa Boja tidak menyebut praktisi penyembuh sawan
sebagai dukun. Di Desa Boja ada sekitar lima orang praktisi penyembuh sawan yang membuka praktek pengobatan.
Dalam penelitian ini ada tiga orang praktisi penyembuh sawan yang menangani pasien dengan cara berbeda, namun tetap ada
beberapa kesamaan dalam metode pengobatan yang dilakukan.
Praktek Pengobatan Sawan Bapak Pasir:
Pengobatan
terhadap seseorang yang terkena sawan
biasa dilakukan oleh Bapak Pasir menggunakan dlingo bengkle dan kembang macan kerah. Dlingo bengkle
selalu digunakan karena memiliki khasiat untuk menetralkan suhu pada tubuh yang
terkena sawan, sementara kembang macan kerah digunakan untuk
mengusir gangguan sawan yang
menempel. Bapak Pasir menjelaskan bahwa pengobatan sawan harus melalui media, sehingga bahan yang digunakan sebagai
obat merupakan komponen terpenting dalam praktek penyembuhan sawan,
meskipun japa (mantra) juga
berpengaruh dalam pengobatan.
“Nambani sawan angger ngerti lantarane kui gampang,
nek wis ngerti lantarane mengko isa nemoke tambane. Contone sawan mayit,
tambane dlingo bengkle karo kembang macan kerah. Jenenge sawan kui kan sengkala
saka barang alus, pada kaya menungsa, barang alus ya nduwe uba rampe sing ora
disenengi, mula tamba kui mau ora sembarangan, dlingo bengkle kanggo netralke
penyakit, kembang macan kerah kanggo ngilagi sawan. Kaya ngono nek wis ngerti
sawan isa ditambani dewe, dongane ya kari maca donga apa sakisane.”
“Mengobati
sawan asal tahu penyebabnya itu
mudah, kalau sudah tau penyebabnya nanti bisa menemukan obatnya. Contohnya sawan mayit, obatnya dlingo bengkle dan
kembang macan kerah. Namanya sawan
itu kan bahaya dari makhluk halus, sama seperti manusia, makhluk halus juga
punya banyak hal yang tidak disukai, maka dari itu obat tidak boleh
sembarangan, dlingo bengkle untuk menetralkan penyakit, kembang macan kerah untuk menghilangkan sawan. Kalau sudah tahu hal tersebut sawan bisa diobati sendiri, doanya ya tinggal membaca doa
sebisanya.” (Pasir, 23
Februari 2014 pukul 17.00 WIB)
Praktek
Pengobatan Sawan Bapak Dimyati
Praktek
pengobatan sawan Bapak Dimyati
memiliki beberapa perbedaan dengan Bapak Pasir. Hal utama yang ditonjolkan
dalam pengobatan yang dilakukan oleh Bapak Dimyati adalah keterlibatan pasien
dalam pengobatan. Menurut Bapak Dimyati penyakit apapun datang dari Allah,
meskipun melalui banyak perantara. Jika kita ingin mendapatkan kesembuhkan,
maka hanya Allah pula yang mampu menyembuhkan atas upaya yang dilakukan oleh
pasien. Seseorang yang terkena sawan
akan diminta untuk berdzikir dan berdoa agar diberi kesembuhan. Doa yang biasa digunakan
oleh Bapak Dimyati dalam menangani pasien yang terkena sawan adalah sebagai berikut:
“Allahumma shalliala syayidina muhammadin
dibilqulubi wadhawa’iha wa’afiatilafbani wasyifa’iha wanurilaqsori wadhilaiha
wa’ala alaihi wasahbihi wasalim”
Bapak
Dimyati memaknai doa tersebut sebagai permintaan pasien kepada Allah untuk
sembuh, oleh karena itu doa juga harus dibaca oleh pasien, bukan hanya dibaca
oleh Bapak Dimyati sebagai praktisi penyembuh. Doa tersebut dibaca secara
bersamaan oleh Bapak Dimyati dan pasien sebanyak tiga kali. Selama berdzikir
dan berdoa Bapak Dimyati telah menyiapkan segelas air putih untuk diminum
pasiennya, setelah pengobatan selesai
maka Dimyati akan meminta pasiennya unttuk berpuasa selama tiga hari
berturut-turut, yakni pada hari Rebo Pon,
Kemis Wage, dan Jumat Kliwon.
Puasa dilakukan agar tubuh terbebas dari penyakit, karena Bapak Dimyati percaya
bahwa penyakit apapun dapat disembuhkan dengan cara berpuasa. Puasa merupakan
upaya untuk mengistirahatkan tubuh dari segala aktivitas, yang mungkin dapat
melemahkan kinerja tubuh. Pemilihan hari tersebut didasarkan pada makna Pon yaitu angin, Wage yaitu tanah, dan Kliwon
yang menjiwai panca indera manusia. Pasien yang sakit atau masuk angin agar
segera terlepas dari penyakitnya, unsur tanah yang merupakan pembentuk jasmani
manusia dapat kembali seimbang, sehingga panca indera yang dimiliki oleh
manusia dapat kembali berfungsi dengan normal, tanpa mengalami gangguan apapun.
Praktek
Pengobatan Sawan Ibu Partinah:
Dalam melakukan pengobatan
terhadap sawan Ibu Partinah memiliki
cara yang disesuaikan dengan gejala, dan tidak terlalu banyak menggunakan
bahan-bahan tertentu dalam pengobatan. Untuk mengobati seseorang yang terkena sawan, Ibu Partinah mengungkapkan bahwa
faktor yang terpenting adalah doa.
“Sawan niku
kan sengkala sing saget ndadeke wong sakit to mbak, gampangane nggih ora ketok
asale tapi isa dirasake. Nek bayi kan mboten saget ngomong apa sing dirasake,
kudu ibune sing krasa. Paling nek kula niku nambanine nggih dipijet kalih
dingongake. Ora kabeh sawan saget ditambani ngangge dlingo bengkle lho mbak.
Wonten sawan sing gejalane gatel, lha niku nek diparingi dlingo bengkle malah
panas, tambah gatel. Sing penting niku doa, nyuwun kalih Gusti Allah.”
“Sawan itu kan bahaya yang bisa
menyebabkan seseorang sakit to mbak, mudahnya ya tidak bisa dilihat sebabnya
tapi bisa dirasakan. Kalau bayi kan tidak bisa menyampaikan apa yang dirasakan,
harus ibunya yang peka. Paling kalau saya mengobati hanya dengan memijat dan
mendoakan. Tidak semua sawan bisa
diobati menggunakan dlingo bengkle lho mbak. Ada sawan yang gejalanya gatal, lha itu kalau dikasih dlingo bengkle
justru panas, tambah gatal. Yang penting itu doa, minta kepada Allah.”
(Partinah, 4 Maret
2014 pukul 19.30 WIB)
Menurut teori etiologi
penyakit pada masyarakat Jawa pengobatan
penyakit oleh masyarakat Jawa dapat dilakukan dengan dua tahap: (1) Diagnosa
dan pemilihan metode yang tepat, hal ini dapat dilakukan dengan salah satu atau
kombinasi dari ketiga metode, yaitu numerologi (petungan), pengetahuan
secara intuisi melalui meditasi dan analisa symptom. Pengobatan pada pasien
yang terkena sawan pertama adalah
melakukan diagnosa, yakni menggunakan metode pengetahuan secara intuisi yang
dimiliki oleh praktisi penyembuh. Masyarakat Desa Boja secara awam dapat
menduga bahwa seseorang terkena sawan,
namun dugaan tersebut belum tentu benar karena hanya praktisi penyembuh lah
yang dapat mengetahui dengan tepat apakah seseorang benar-benar terkena sawan atau tidak. Metode diagnosa
selanjutnya adalah dengan menggunakan analisa symtom atau analisa gejala. Sawan sebagai penyebab suatu penyakit
memiliki gejala umum antara lain demam, lemas, dan malas untuk melakukan
aktivitas, selain itu ada gejala khusus yang mengindikasikan seseorang sawan, seperti gatal dan telinga yang
mendadak tuli. Melalui analisa symtom inilah praktisi penyembuh mampu
mengidentifikasi jenis sawan untuk
kemudian melakukan perawatan sesuai kebutuhan. (2) Proses penerapan pengobatan
menurut sistem medis lokal ada tiga elemen dasar yang berpengaruh, yaitu obat
itu sendiri, mantra, dan kondisi pemberi obat (codition of the performer). Dalam pengobatan terhadap sawan masing-masing praktisi penyembuh
memiliki ramuan tersendiri untuk mengobati, seperti pemakaian dlingo bengkle
dan kembang macan kerah yang
dipercaya mampu menetralisir dan menghilangkan penyakit. Selanjutnya yakni
mantra, semua praktisi penyembuh memiliki mantra yang digunakan dalam mengobati
pasien. Mantra dibacakan pada saat melakukan pengobatan dan juga pada media
yang digunakan untuk mengobati, yakni air. Beberapa praktisi penyembuh meyakini
bahwa hal terpenting dalam pengobatan sawan
adalah doa atau mantra. Kondisi pemberi obat atau praktisi penyembuh juga
dipertimbangkan dalam pengobatan sawan.
Seseorang akan memutuskan untuk berobat kepada siapa ketika terkena sawan dengan pertimbangan mathuk dan mandi (cocok dan manjur). Jika seseorang sudah pernah berobat
kepada salah satu praktisi penyembuh dan kemudian mendapatkan kesembuhan maka
ia akan mengatakan praktisi penyembuh tersebut mandi, namun jika tidak maka akan dianggap ora mathuk (tidak cocok) sehingga akan memilih untuk berobat kepada
praktisi penyembuh yang lain.
Alasan
Masyarakat Desa Boja Mempercayai Sawan
Masih
adanya kepercayaan masyarakat terhadap faktor-faktor supranatural. Masyarakat
Desa Boja memiliki pengetahuan mengenai sistem medis tradisional, yakni
kepercayaan terhadap sawan dan
praktek pengobatannya. Sistem medis tradisional sudah ada di Desa Boja jauh
sebelum sistem medis modern banyak dijumpai seperti saat ini. Hal tersebut
dapat terlihat dari adanya pewarisan ilmu pengobatan yang dimiliki oleh
praktisi penyembuh tradisional. Kondisi tersebut membuktikan bahwa masyarakat
Desa Boja lebih dahulu mengenal dukun atau orang pintar sebagai tempat berobat
daripada dokter. Masyarakat yang berobat kepada praktisi penyembuh tradisional
tidak hanya menerima kenyataan bahwa tubuhnya mengalami gangguan karena virus,
tetapi juga karena gangguan gaib dan juga gangguan alam.
“Ketidakmampuan”
sistem medis modern memberikan kesembuhan terhadap penyakit yang disebabkan
oleh sawan juga mempengaruhi
kepercayaan masyarakat Desa Boja terhadap sawan.
Masyarakat yang mengaku pernah terkena sawan
memiliki cerita masing-masing ketika mengalami hal tersebut, salah satunya
adalah Ibu Sa’diah yang sudah berkali-kali terkena sawan, dan hingga saat ini beliau tetap menjalankan nasehat yang
diberikan oleh praktisi penyembuh sawan
yang mengobatinya dahulu.
“Aku ki wis bola bali kena sawan, ya sawan mayit
kui. Rasane awake ora karuan kabeh, priksa bola-bali ning dokter ya ora mari.
Mula aku diweling karo jenate Mbah Giyah, dukun sawan, nek layat ya nek mayite
wis dikubur, aja mangan bancaan ewuhe wong mati”
“Saya itu sudah
berkali-kali terkena sawan, ya sawan mayit itu. Badan rasanya tidak
karuan, periksa berkali-kali ke dokter juga tidak sembuh-sembuh. Makanya saya
diperingatkan oleh almarhumah Mbah Giyah, dukun sawan, kalau melayat sesudah jenazahnya dikuburkan, jangan makan
makanan selamatan memperingati kematian” (Sa’diah, 5 Maret 2014 pukul 09.30 WIB)
Pengalaman terkena sawan membuat masyarakat percaya bahwa sawan memang benar-benar ada.
Kepercayaan terhadap sawan didukung
oleh adanya beberapa pantangan atau larangan yang tidak bisa dilanggar, jika
pantangan tersebut dilanggar maka sawan
akan kembali menempel pada tubuh. Masyarakat yang benar-benar mempercayai sawan akan menjaga hal tersebut, seperti
apa yang dilakukan oleh Ibu Sa’diah.
Masyarakat
yang mengaku pernah terkena sawan
memiliki cerita masing-masing ketika mengalami hal tersebut, salah satunya
adalah Ibu Sa’diah yang sudah berkali-kali terkena sawan, dan hingga saat ini beliau tetap menjalankan nasehat yang
diberikan oleh praktisi penyembuh sawan
yang mengobatinya dahulu.
“Aku ki wis bola bali kena sawan, ya sawan mayit
kui. Rasane awake ora karuan kabeh, priksa bola-bali ning dokter ya ora mari.
Mula aku diweling karo jenate Mbah Giyah, dukun sawan, nek layat ya nek mayite
wis dikubur, aja mangan bancaan ewuhe wong mati”
“Saya itu sudah
berkali-kali terkena sawan, ya sawan mayit itu. Badan rasanya tidak
karuan, periksa berkali-kali ke dokter juga tidak sembuh-sembuh. Makanya saya
diperingatkan oleh almarhumah Mbah Giyah, dukun sawan, kalau melayat sesudah jenazahnya dikuburkan, jangan makan
makanan selamatan memperingati kematian” (Sa’diah, 5 Maret 2014 pukul 09.30 WIB)
Pengalaman terkena sawan membuat masyarakat percaya bahwa sawan memang benar-benar ada.
Kepercayaan terhadap sawan didukung
oleh adanya beberapa pantangan atau larangan yang tidak bisa dilanggar, jika
pantangan tersebut dilanggar maka sawan
akan kembali menempel pada tubuh. Masyarakat yang benar-benar mempercayai sawan akan menjaga hal tersebut, seperti
apa yang dilakukan oleh Ibu Sa’diah.
Simpulan
Berdasarkan
hasil penelitian mengenai kepercayaan masyarakat terhadap penyakit yang
disebabkan oleh sawan dan praktek
pengobatannya di Desa Boja Kecamatan Boja Kabupaten Kendal, dapat disimpulkan bahwa:
(1) Masyarakat Desa Boja mempercayai sawan
sebagai penyebab penyakit yang berasal dari orang yang meninggal dunia dan
pengantin. Sawan tidak hanya rentan
menyerang anak-anak tetapi juga orang dewasa. Gejala sawan dapat berupa demam,
lemas, kuku dan mata berwarna kekuningan, gatal, dan telinga berdengung. (2) Masyarakat
Desa Boja mengklasifikasikan sawan
menjadi tiga kategori, yakni sawan
nganten, sawan mayit, dan sawan layon. Dua jenis sawan yakni sawan nganten dan sawan mayit
dapat dicegah, sementara sawan layon
tidak dapat dicegah karena masyarakat tidak bisa mengetahui secara persis
penyebab sawan layon. Masyarakat Desa
Boja memiliki dua cara untuk mengobati sawan,
yaitu dengan self treatment
(menggunakan jamu) dan perawatan kedukunan. (3) Masyarakat Desa Boja hingga
saat ini masih mempercayai adanya sawan
sebagai penyebab suatu peyakit karena masih adanya keyakinan masyaraakat
terhadap faktor supranatural, “ketidakmampuan” sistem medis modern memberikan
kesembuhaan terhadap penyakit yang disebabkan oleh sawan, dan sugesti masyarakat terhadap peran praktisi penyembuh sawan.
Daftar Pustaka
Foster
dan Anderson. 2006. Antropologi Kesehatan.
Jakarta: Universitas Indonesia.
Geertz,
Clifford. 1989. Abangan, Santri, Priyayi
Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Koentjaraningrat.
1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai
Pustaka.
Moleong,
Lexy J. 2007. Metodelogi Penelitian
Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Purwadi.
2004. Dukun Jawa. Yogyakarta: Media
Abadi.
Radam,
Noerrid Haloei. 2001. Religi Orang Bukit.
Yogyakarta: Yayasan Semesta.
Soehardi. 2000. Struktur Ganda Dalam Sistem Pengobatan Di
Indonesia. Jurnal Humaniora. Volume 12. Nomer 1. hlm. 112-119
Sudardi, Bani. 2002. Konsep Pengobatan
Tradisional Menurut Primbon Jawa. Humaniora.
Volume 14. Nomer 1. Februari. hlm. 12-19
Suprihatin, Vitri S. 2010. Keputusan Pasien Memilih Pengobatan
Alternatif Prana (Kasus Padepokan Partisan Kumbang Malam). Skripsi. Universitas
Negeri Semarang.
Wicaksono, Harto. 2011. Ritus Pengobatan Dongke: Studi Etnomedisin
Pada Masyarakat Desa Tanggulangin Kabupaten Tuban. Skripsi. Universitas
Negeri Semarang.