Minggu, 24 Agustus 2014

KEPERCAYAAN MASYARAKAT TERHADAP PENYAKIT YANG DISEBABKAN OLEH SAWAN DAN PRAKTEK PENGOBATANNYA DI DESA BOJA KECAMATAN BOJA KABUPATEN KENDAL



Sari
Artikel ini membahas mengenai sawan yang dipercayai oleh masyarakat Desa Boja sebagai penyebab penyakit. Bagi masyarakat Jawa penyakit tidak hanya berasal dari virus atau kuman, tetapi juga bisa berasal dari hal-hal supranatural. Sawan merupakan salah satu penyebab penyakit yang bersumber dari dua hal, yakni pengantin dan mayat. Masyarakat Desa Boja percaya bahwa tidak hanya anak-anak yang bisa terkena sawan, tetapi juga orang dewasa. Masyarakat memiliki dua cara dalam mengobati sawan, yakni dengan self treatment dan perawatan kedukunan. Praktek pengobatan medis modern yang sudah banyak berdiri, tidak menyurutkan kepercayaan masyarakat Desa Boja terhadap sawan. Dokter sebagai praktisi penyembuh modern dianggap tidak mampu menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh sawan, meskipun beberapa gejala sawan mampu dideteksi. Dengan metode observasi dan wawancara akan dijelaskan mengenai kepercayaan masyarakat Desa Boja terhadap sawan dan parktek pengobatannya.
Kata Kunci: Kepercayaan masyarakat, penyakit, sawan, praktek pengobatan

Abstract
This article discusses about sawan which is believed by the people at Boja as the cause of disease. The Javanese believe that diseases come not only from a virus or bacteria but also from supranatural things. Sawan is one of the causes of a disease that is derived from two things, they are bride and cropse. People at Boja believe that not only children can get sawan but also adults, too. People try to cure sawan using two methods. First, they use self treatment method, and the second one they use treatment from the wizard.  The existence of the modern medical treatment does not prevent the people at Boja to believe in sawan. Although the symptoms of sawan can be detected by the modern medical treatment, people’s belief about sawan cannot be diminished. Even if the symptoms of sawan can be detected, the doctors as the modern healer do not get the trust from the people to cure the disease that causes from sawan. Through  observation and interview methods will make clear about the Boja people’s beliefs toward sawan and its medical treatment.
Keywords: People’s belief, disease, sawan, medical treatment

Pendahuluan
Setiap masyarakat memiliki kebudayaan yang dilestarikan oleh para pendukungnya. Kebudayaan dapat dibagi menjadi tujuh unsur pokok, yaitu: (1) bahasa, (2) sistem pengetahuan, (3) organisasi sosial, (4) sistem peralatan hidup dan teknologi, (5) sistem matapencaharian hidup, (6) sistem religi, dan (7) sistem kesenian (Koentjaraningrat 1983:206). Sistem medis dapat dimasukkan kedalam unsur sitem pengetahuan yang mencakup pemahaman masyarakat terhadap suatu penyakit dan praktek pengobatannya. Masyarakat Desa Boja memiliki kepercayaan mengenai adanya penyakit yang disebabkan oleh  sawan. Pengetahuan mengenai sawan sudah diperoleh secara turun temurun sehingga sulit dihilangkan. Praktek pengobatan sawan yang dilakukan oleh beberapa praktisi medis tradisional pun masih ada hingga saat ini. Dari observasi yang diperoleh, ada sekitar lima orang praktisi penyembuh sawan di Desa Boja.
Sawan diyakini sebagai sengkala atau bahaya yang berasal dari pengantin dan orang yang meninggal. Upacara pernikahan yang digelar dengan bertabur bunga dan wangi-wangian, serta diiringi oleh gamelan yang mendayu-dayu, dipercayai mampu menghadirkan arwah sanak saudara yang sudah meninggal untuk turut menyaksikan pernikahan tersebut. Bagi anak-anak yang berada disekitar orang yang nduwe gawe (menggelar hajat) maka akan berpotensi terkena sawan nganten jika tubuh mereka dalam kondisi kosong. Masyarakat Jawa pada umumnya termasuk masyarakat Boja mempercayai adanya kakang kawah adhi ari-ari, artinya manusia dilahirkan ke dunia ini tidak sendiri, ia didampingi oleh kakak berupa kawah (air ketuban yang selalu keluar mendahului proses kelahiran) dan ari-ari (plasenta yang keluar setelah bayi dilahirkan).
Masyarakat mempercayai kawah yang keluar bukan sekedar air, tetapi memiliki wujud yang sama seperti bayi yang dilahirkan, begitu juga dengan ari-ari. Kawah dan ari-ari inilah yang diyakini selalu mendampingi manusia semasa hidupnya, menjaga agar manusia terhindar dari bahaya dan perbuatan yang tidak terpuji, namun ada kalanya  kedua wujud ini meninggalkan manusia, sehingga tubuh tidak memiliki pelindung. Kondisi seperti ini sering disebut dengan suwung (kosong), dan ketika seseorang dalam keadaan suwung maka sengkala yang dibawa oleh arwah tadi mampu masuk kedalam tubuh manusia, sehingga dapat mengganggu berjalannya fungsi tubuh. Proses masuknya sawan nganten dan sawan mayit (sawan yang dibawa oleh jenazah) kedalam tubuh manusia pada dasarnya sama, yakni melalui sengkala yang dibawa angin.
Masyarakat mengembangkan suatu pengertian dan kepercayaan terhadap sebuah penyakit yang juga disertai dengan upaya penanganan atau disebut sebagai sistem medis. Sistem medis merupakan suatu pola dari pranata sosial-budaya yang menyangkut perilaku yang sengaja untuk meningkatkan kesehatan, meskipun hasilnya belum tentu baik untuk kesehatan (Fred Dunn: 1976). Hal ini pun berlaku pada masyarakat Desa Boja mengenai kepercayaan terhadap penyakit yang disebabkan oleh sawan.
Metode Penelitian
Dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus, yaitu penelitian yang melihat objek penelitian sebagai kesatuan yang terintegrasi, yang penelaahannya pada satu kasus dan dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail, dan komprehensif. Studi kasus digunakan karena fenomena sawan sudah dikenal di beberapa daerah, ada yang meyakini bahwa sawan adalah penyakit yang rentan menyerang anak-anak, ada pula yang mempercayai bahwa sawan disebabkan oleh hewan seperti babi, yang mengakibatkan kejang atau ayan. Kepercayaan terhadap sawan pada masyarakat Desa Boja berbeda dengan sawan yang dikenal oleh masyarakat secara umum. Sawan tidak hanya rentan terhadap anak-anak, tetapi juga pada orang dewasa. Sakit yang disebabkan oleh sawan pun bermacam-macam tergantung dari klasifikasi sawan itu sendiri. Tipe penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan menggambarkan berbagai kondisi, situasi, dan variabel yang menjadi objek penelitian. Penelitian ini bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Proses dan makna (perspektif subjek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif.
Subjek dalam penelitian ini adalah masyarakat Desa Boja. Untuk memperoleh data yang dibutuhkan peneliti mengambil delapan informan yang terdiri dari lima orang sebagai informan utama dan tiga orang sebagai informan kunci. Pertimbangan pemilihaan informan utama didasarkan pada kepercayaan masyarakat terhadap sawan dan praktek pengobatannya, sementara pertimbangan pemilihan informan kunci didasarkan pada pengetahuan lebih tentang sawan yang dimiliki.
Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik observasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu observasi langsung, dimana penulis mengadakan pengamatan secara langsung terhadap subyek yang diteliti yakni masyarakat Desa Boja dan praktek pengobatan terhadap penyakit yang disebabkan oleh sawan. Penulis menggunakan wawancara terstruktur dan wawancara mendalam dalam penelitian ini. Wawancara terstruktur merupakan wawancara yang menggunakan instrumen penelitian, sementara wawancara mendalam digunakan untuk mendapatkan gambaran yang lengkap dan lebih mendalam tentang kepercayaan masyarakat terhadap penyakit yang disebabkan oleh sawan dan praktek pengobatannya di Desa Boja Kecamatan Boja Kabupaten Kendal. Metode dokumentasi dalam penelitian ini juga penulis lakukan, penulis mengambil dokumen yang berhubungan dengan profil atau gambaran umum Desa Boja, foto-foto pada saat mengamati pengobatan terhadap seseorang yang terkena sawan, dan juga pada saat penulis melakukan wawancara sehingga dapat digunakan untuk mendukung kelengkapan data yang ada pada penulis.
Pembahasan
Kecamatan Boja adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Kendal yang memiliki pusat pemerintahan di Desa Boja. Topologi Desa Boja yakni merupakan Desa Pegunungan dan Desa Perkotaan. Desa Boja yang merupakan satu dari 18 desa di Kecamatan Boja memiliki luas wilayah 3,67 Km2, yang terbagi menjadi 10 dusun, diantaranya yaitu: Dusun Jagalan, Dusun Sapen, Dusun Gentan Lor, Dusun Gentan Kidul, Dusun Kauman, Dusun Gedangan, Dusun Penaton, Dusun Pilang, Dusun Klesem, dan Dusun Ngadibolo. Batas wilayah Desa Boja sebelah utara adalah Desa Meteseh, sebelah selatan berbataan dengan Desa Salamsari/Belimbing, sebelah timur berbatasan dengan Desa Tampingan/Campurejo, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Bebengan.
Masyarakat Desa Boja dilihat dari segi sosial budaya masih memegang teguh kerukunan dan gotong royong yang cukup baik. Masyarakat tidak terlihat memiliki konflik yang menonjol sehingga merusak kestabilan sosial. Masyarakat Desa Boja juga masih menjalankan tradisi yang diwarisi secara turun temurun seperti Baritan, Nyadran, Dun-dunan, dan satu tradisi besar di Desa Boja adalah Syawalan atau merti desa yang diadakan pada bulan Syawal, tepatnya yakni tujuh hari setelah Hari Raya Idul Fitri.


Makna Sehat dan Sakit Bagi Masyarakat Desa Boja
Konsep sehat dan sakit yang dimiliki oleh setiap manusia berbeda antara satu dengan yang lain. Konsep sehat dan sakit juga dapat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dimiliki masyarakat. Bagi sebagian besar masyarakat Desa Boja sehat adalah kondisi dimana masyarakat dapat melakukan aktivitas sehari-hari. Gangguan virus pada tubuh seperi flu dan batuk tidak dianggap sebagai sakit, karena meskipun virus tersebut menyerang tubuh, seseorang tetap dapat melakukan aktivitas sehari-hari.
Sakit adalah kondisi dimana seseorang tidak bisa bekerja seperti saat ia sehat, misalnya masyarakat Desa Boja Kecamatan Boja Kabupaten Kendal yang memiliki pengetahuan mengenai sawan sebagai penyebab suatu penyakit. Sawan yang dipercayai berasal dari pengantin dan mayat menyebabkan seseorang yang terkena menjadi lemas, pucat dan susah tidur. Seseorang yang terkena sawan akan mengalami kendala dalam menjalankan aktivitas sehari-harinya. Bagi masyarakat Boja pada umumnya seseorang dikatakan sakit apabila sudah tidak mampu menjalankan peran sosialnya dengan baik.
“Wong Lara ki ya nek wis ra isa apa-apa. Meh napa-napa kangelan, lemes, ngono kui lara. Tapi nek mung watuk pilek yo ra tak anggep lara. Aku dewe nek watuk pilek angger isa mandang gawe ao tak tandangi. Ning nek sawanen ya kui lara, kudu ditambani, wong nek sing kena sawan hawane lemes, meh apa-apa males, nek kebanjur kan dadine ra isa mandang gawe.”

“Orang sakit itu ya kalau sudah tidak bisa apa-apa. Mau melakukan apapun susah, lemas, seperti itu namanya sakit. Tapi kalau hanya batuk pilek ya tidak saya anggap sakit. Saya sendiri kalau batuk pilek asal bisa bekerja ya saya kerjakan. Tapi kalau sawanen ya itu sakit, harus diobati, orang kalau kena sawan itu lemas, mau melakukan apa-apa malas, kalau sudah terlanjur kan jadi tidak bisa bekerja.” (Tinah, 9 Maret 2014 pukul 16.00 WIB)

Secara biologis seseorang yang sedang batuk atau pilek tentu mengalami gangguan fungsi dalam tubuh yang disebabkan oleh virus. Organ dalam tubuh tidak dapat menjalankan fungsi sebagaimana mestinya, tetapi gangguan yang demikian tidak dianggap sakit oleh sebagian besar masyarakat Desa Boja karena seseorang yang mengalami hal tersebut masih dapat menjalankan aktivitas dan peran sosialnya. Sawan yang merupakan sebab penyakit berdasarkan pengetahuan masyarakat Desa Boja, justru dianggap sebagai sakit yang harus segera ditangani karena apabila tidak ditangani akan mengganggu aktivitas. Hal tersebut sama dengan apa yang diungkapkan oleh Foster dan Anderson: harus dibedakan antara penyakit (disease) sebagai suatu konsep patologi, dan penyakit (illness) sebagai suatu konsep kebudayaan. Masyarakat mendefinisikan penyakit dalam cara yang berbeda, suatu gejala yang merupakan bukti adanya penyakit dalam suatu masyarakat, mungkin akan diabaikan oleh masyarakat lainnya (Foster Dan Anderson, 2006:50)
Kepercayaan Masyarakat Desa Boja Terhadap Sawan
Sawan merupakan penyakit yang sudah banyak dikenal oleh masyarakat Jawa. Sawan dikenal secara umum sebagai penyakit yang rentan menyerang anak-anak atau penyakit yang ditandai dengan kejang, bagi masyarakat Desa Boja sawan bukan merujuk pada suatu jenis penyakit, tetapi merupakan sebab sakit. Sakit yang disebabkan oleh sawan pun bermacam-macam, seperti demam, gatal, hingga kesulitan dalam mendengar. Sawan yang dikenal oleh masyarakat Desa Boja juga tidak hanya rentan menyerang anak-anak, tetapi juga orang dewasa.
Sawan bukan merupakan hal yang asing bagi masyarakat Desa Boja, hampir semua masyarakat Desa Boja mengenal sawan. Banyak diantara masyarakat yang mengaku pernah terkena sawan dengan gejala lemas, malas beraktivitas, dan susah tidur. Sebagian besar masyarakat Desa Boja mengenal sawan, namun tidak semua masyarakat dapat mendeskripsikan apa itu sawan. Masyarakat hanya menjelaskan dengan menyebutkan jenis sawan yang diketahui, seperti sawan mayit dan sawan nganten.
“Sawan ki apa ya mbak, sawan ya sawan. Kaya mono isa sing ngenangi kui nganten, isa wae wong mati. Nek sing ngenangi nganten ya jenenge sawan nganten, nek sing ngenangi mayit ya jenenge sawan mayit. Biasane sawan ki nek ning dokter diarani tifus. Tapi ya ra mari mbok wis ping pira-pira ditambani dokter.”
Sawan itu apa ya mbak, sawan ya sawan. Yang mana bisa berasal dari pengantin, bisa juga dari jenazah. Jika berasal dari pengantin namanya sawan nganten, kalau berasal dari jenazah namanya sawan mayit. Biasanya sawan itu kalau di dokter didiagnosa tifus. Tapi meski demikian juga tetap tidak sembuh walaupun sudah berkali-kali diobati dokter.” (Yanti 44th 7 Maret 2014 Pukul 13.00)
Kepercayaan terhadap sawan sebagai penyebab suatu penyakit memang tidak bisa diungkapkan secara terstruktur oleh masyarakat Desa Boja, tetapi pengetahuan dan kepercayaan itu tetap ada dalam gagasan pikiran masyarakat, ini disebut sebagai sistem “teori penyakit” (Foster dan Anderson, 2006:46). Sistem teori penyakit meliputi kepercayaan-kepercayaan mengenai ciri-ciri sehat, sebab-sebab sakit serta pengobatan dan teknik-teknik penyembuhan lain yang digunakan oleh para dokter. Masyarakat Desa Boja memiliki sitem teori penyakit mengenai sawan. Sawan muncul karena seseorang yang sedang kosong terkena angin yang membawa aroma khas tanah pemakaman ketika ada orang yang meninggal dan bunga pengantin saat ada upacara pernikahan. Gejala sawan kadang memang dapat dideteksi oleh dokter, namun hanya bisa disembuhkan oleh praktisi penyembuh sawan. Sistem teori penyakit merupakan suatu sistem ide konseptual , suatu konstruk intelektual, bagian dari orientasi kognitif anggota kelompok, dalam hal ini adalah masyarakat Desa Boja yang mempercayai sawan.
Sawan merupakan penyebab penyakit yang diyakini oleh masyarakat Desa Boja berasal dari mayat dan pengantin. Sawan dapat muncul karena ada angin yang membawanya masuk kedalam tubuh manusia atau disebut dengan masuk angin, sehingga tubuh mengalami gangguan fungsi yang dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh. Berdasarkan klasifikasi penyakit masyarakat Jawa menurut Geertz (1989:131-133) sawan termasuk kedalam kategori yang kedua, yakni penyakit yang belum umum, digolongkan dalam empat variasi: darah kotor, kekurangan darah, kekosongan jiwa, dan kemasukan udara (panas atau benda-benda asing lain yang kadang-kadang dimasukkan kedalam tubuh melalui sihir).
Masyarakat Desa Boja secara  umum mengenal ada dua jenis sawan, yaitu sawan mayit dan sawan nganten. Sawan mayit yaitu sawan yang berasal dari mayat dan sawan nganten yang berasal dari pengantin. Rangkaian upacara pernikahan dan upacara kematian yang sakral dapat berakibat buruk bagi mereka yang sedang berada dalam kondisi jiwa yang kosong. Bagi praktisi penyembuh sawan, klasifikasi dibedakan menjadi tiga jenis, yang ketiga yakni sawan layon. Sawan Layon merupakan jenis sawan yang diklasifikasikan oleh praktisi penyembuh. Sawan layon berasal dari orang yang meninggal dengan cara tragis, yakni kecelakaan atau bunuh diri. Berikut adalah tabel perbedaan jenis sawan:
Perbedaan Jenis Sawan Pada Masyarakat Desa Boja
Pembeda
Sawan Mayit
Sawan Nganten
Sawan Layon
Subjek yang terkena
Anak-anak dan orang dewasa
Anak-anak
Anak-anak dan orang dewasa
Asal Usul
Jenazah orang meninggal
Pengantin
Kematian tragsis (kecelakaan/bunuh diri)
Sebab
Melayat, Mengurus jenazah, Berpapasan dengan rombongan pengiring jenazah
Kondangan (datang keacara pernikahan)
Kondisi tubuh yang kosong dihampiri oleh ruh seseorang yang meninggal tragis
Gejala
Lemas, kuku dan mata kekuningan, malas melakukan aktivitas
Demam dengan suhu tubuh yang sangat tinggi
Telinga berdengung atau gatal diseluruh tubuh
Pencegahan
Mengenakan dlingo bengkle, turut menghantar jenazah ke pemakaman, membersihkan diri dengan cara berwudlu atau mandi setelah melayat
Mengenakan bedak pengantin yang disediakan oleh pemilik hajat
Tidak ada upaya pencegahan yang dilakukan untuk menghindari sawan layon

Praktek Pengobatan Terhadap Sawan Pada Masyarakat Desa Boja
Masyarakat Desa Boja mengenal sawan sebagai penyebab suatu penyakit memiliki dua cara dalam sistem perawatan kesehatan, yakni: (1) self treatment dan (2) perawatan kedukunan (Kleinmann, 1980). Self treatment (perawatan sendiri) merupakan upaya perawatan kesehatan dengan bantuan keluarga. Self treatment dilakukan apabila pasien mulai menunjukkan gejala awal adanya suatu penyakit, misalnya ketika seseorang diduga terkena sawan dengan gejala lemas, bagian tubuh tertentu nampak kekuningan, maka anggota keluarga akan segera memberikan jamu sawan yang dibeli dari penjual jamu gendong keliling maupun dari toko jamu. Pengobatan dengan memberikan jamu kepada seseorang yang diduga terkena sawan merupakan langkah awal dalam menangani kasus sawan, jika seseorang tetap merasa tubuhnya tidak segera membaik maka langkah selanjutnya yakni dibawa kepada praktisi penyembuh sawan. Perawatan sendiri atau self treatmen yang dilakukan oleh masyarakat Desa Boja untuk menangani sawan juga didampingi oleh perawatan kedukunan, meskipun masyarakat Desa Boja tidak menyebut praktisi penyembuh sawan sebagai dukun. Di Desa Boja ada sekitar lima orang praktisi penyembuh sawan yang membuka praktek pengobatan. Dalam penelitian ini ada tiga orang praktisi penyembuh sawan yang menangani pasien dengan cara berbeda, namun tetap ada beberapa kesamaan dalam metode pengobatan yang dilakukan.
Praktek Pengobatan Sawan Bapak Pasir:
Pengobatan terhadap seseorang yang terkena sawan biasa dilakukan oleh Bapak Pasir menggunakan dlingo bengkle dan kembang macan kerah. Dlingo bengkle selalu digunakan karena memiliki khasiat untuk menetralkan suhu pada tubuh yang terkena sawan, sementara kembang macan kerah digunakan untuk mengusir gangguan sawan yang menempel. Bapak Pasir menjelaskan bahwa pengobatan sawan harus melalui media, sehingga bahan yang digunakan sebagai obat merupakan komponen terpenting dalam praktek penyembuhan sawan,  meskipun japa (mantra) juga berpengaruh dalam pengobatan.
“Nambani sawan angger ngerti lantarane kui gampang, nek wis ngerti lantarane mengko isa nemoke tambane. Contone sawan mayit, tambane dlingo bengkle karo kembang macan kerah. Jenenge sawan kui kan sengkala saka barang alus, pada kaya menungsa, barang alus ya nduwe uba rampe sing ora disenengi, mula tamba kui mau ora sembarangan, dlingo bengkle kanggo netralke penyakit, kembang macan kerah kanggo ngilagi sawan. Kaya ngono nek wis ngerti sawan isa ditambani dewe, dongane ya kari maca donga apa sakisane.”

“Mengobati sawan asal tahu penyebabnya itu mudah, kalau sudah tau penyebabnya nanti bisa menemukan obatnya. Contohnya sawan mayit, obatnya dlingo bengkle dan kembang macan kerah. Namanya sawan itu kan bahaya dari makhluk halus, sama seperti manusia, makhluk halus juga punya banyak hal yang tidak disukai, maka dari itu obat tidak boleh sembarangan, dlingo bengkle untuk menetralkan penyakit, kembang macan kerah untuk menghilangkan sawan. Kalau sudah tahu hal tersebut sawan bisa diobati sendiri, doanya ya tinggal membaca doa sebisanya.” (Pasir, 23 Februari 2014 pukul 17.00 WIB)
Praktek Pengobatan Sawan Bapak Dimyati
Praktek pengobatan sawan Bapak Dimyati memiliki beberapa perbedaan dengan Bapak Pasir. Hal utama yang ditonjolkan dalam pengobatan yang dilakukan oleh Bapak Dimyati adalah keterlibatan pasien dalam pengobatan. Menurut Bapak Dimyati penyakit apapun datang dari Allah, meskipun melalui banyak perantara. Jika kita ingin mendapatkan kesembuhkan, maka hanya Allah pula yang mampu menyembuhkan atas upaya yang dilakukan oleh pasien. Seseorang yang terkena sawan akan diminta untuk berdzikir dan berdoa agar diberi kesembuhan. Doa yang biasa digunakan oleh Bapak Dimyati dalam menangani pasien yang terkena sawan adalah sebagai berikut:
“Allahumma shalliala syayidina muhammadin dibilqulubi wadhawa’iha wa’afiatilafbani wasyifa’iha wanurilaqsori wadhilaiha wa’ala alaihi wasahbihi wasalim”

Bapak Dimyati memaknai doa tersebut sebagai permintaan pasien kepada Allah untuk sembuh, oleh karena itu doa juga harus dibaca oleh pasien, bukan hanya dibaca oleh Bapak Dimyati sebagai praktisi penyembuh. Doa tersebut dibaca secara bersamaan oleh Bapak Dimyati dan pasien sebanyak tiga kali. Selama berdzikir dan berdoa Bapak Dimyati telah menyiapkan segelas air putih untuk diminum pasiennya,  setelah pengobatan selesai maka Dimyati akan meminta pasiennya unttuk berpuasa selama tiga hari berturut-turut, yakni pada hari Rebo Pon, Kemis Wage, dan Jumat Kliwon. Puasa dilakukan agar tubuh terbebas dari penyakit, karena Bapak Dimyati percaya bahwa penyakit apapun dapat disembuhkan dengan cara berpuasa. Puasa merupakan upaya untuk mengistirahatkan tubuh dari segala aktivitas, yang mungkin dapat melemahkan kinerja tubuh. Pemilihan hari tersebut didasarkan pada makna Pon yaitu angin, Wage yaitu tanah, dan Kliwon yang menjiwai panca indera manusia. Pasien yang sakit atau masuk angin agar segera terlepas dari penyakitnya, unsur tanah yang merupakan pembentuk jasmani manusia dapat kembali seimbang, sehingga panca indera yang dimiliki oleh manusia dapat kembali berfungsi dengan normal, tanpa mengalami gangguan apapun.
Praktek Pengobatan Sawan Ibu Partinah:
Dalam melakukan pengobatan terhadap sawan Ibu Partinah memiliki cara yang disesuaikan dengan gejala, dan tidak terlalu banyak menggunakan bahan-bahan tertentu dalam pengobatan. Untuk mengobati seseorang yang terkena sawan, Ibu Partinah mengungkapkan bahwa faktor yang terpenting adalah doa.
Sawan niku kan sengkala sing saget ndadeke wong sakit to mbak, gampangane nggih ora ketok asale tapi isa dirasake. Nek bayi kan mboten saget ngomong apa sing dirasake, kudu ibune sing krasa. Paling nek kula niku nambanine nggih dipijet kalih dingongake. Ora kabeh sawan saget ditambani ngangge dlingo bengkle lho mbak. Wonten sawan sing gejalane gatel, lha niku nek diparingi dlingo bengkle malah panas, tambah gatel. Sing penting niku doa, nyuwun kalih Gusti Allah.”
Sawan itu kan bahaya yang bisa menyebabkan seseorang sakit to mbak, mudahnya ya tidak bisa dilihat sebabnya tapi bisa dirasakan. Kalau bayi kan tidak bisa menyampaikan apa yang dirasakan, harus ibunya yang peka. Paling kalau saya mengobati hanya dengan memijat dan mendoakan. Tidak semua sawan bisa diobati menggunakan dlingo bengkle lho mbak. Ada sawan yang gejalanya gatal, lha itu kalau dikasih dlingo bengkle justru panas, tambah gatal. Yang penting itu doa, minta kepada Allah.” (Partinah, 4 Maret 2014 pukul 19.30 WIB)
Menurut teori etiologi penyakit pada masyarakat Jawa  pengobatan penyakit oleh masyarakat Jawa dapat dilakukan dengan dua tahap: (1) Diagnosa dan pemilihan metode yang tepat, hal ini dapat dilakukan dengan salah satu atau kombinasi dari ketiga metode, yaitu numerologi (petungan), pengetahuan secara intuisi melalui meditasi dan analisa symptom. Pengobatan pada pasien yang terkena sawan pertama adalah melakukan diagnosa, yakni menggunakan metode pengetahuan secara intuisi yang dimiliki oleh praktisi penyembuh. Masyarakat Desa Boja secara awam dapat menduga bahwa seseorang terkena sawan, namun dugaan tersebut belum tentu benar karena hanya praktisi penyembuh lah yang dapat mengetahui dengan tepat apakah seseorang benar-benar terkena sawan atau tidak. Metode diagnosa selanjutnya adalah dengan menggunakan analisa symtom atau analisa gejala. Sawan sebagai penyebab suatu penyakit memiliki gejala umum antara lain demam, lemas, dan malas untuk melakukan aktivitas, selain itu ada gejala khusus yang mengindikasikan seseorang sawan, seperti gatal dan telinga yang mendadak tuli. Melalui analisa symtom inilah praktisi penyembuh mampu mengidentifikasi jenis sawan untuk kemudian melakukan perawatan sesuai kebutuhan. (2) Proses penerapan pengobatan menurut sistem medis lokal ada tiga elemen dasar yang berpengaruh, yaitu obat itu sendiri, mantra, dan kondisi pemberi obat (codition of the performer). Dalam pengobatan terhadap sawan masing-masing praktisi penyembuh memiliki ramuan tersendiri untuk mengobati, seperti pemakaian dlingo bengkle dan kembang macan kerah yang dipercaya mampu menetralisir dan menghilangkan penyakit. Selanjutnya yakni mantra, semua praktisi penyembuh memiliki mantra yang digunakan dalam mengobati pasien. Mantra dibacakan pada saat melakukan pengobatan dan juga pada media yang digunakan untuk mengobati, yakni air. Beberapa praktisi penyembuh meyakini bahwa hal terpenting dalam pengobatan sawan adalah doa atau mantra. Kondisi pemberi obat atau praktisi penyembuh juga dipertimbangkan dalam pengobatan sawan. Seseorang akan memutuskan untuk berobat kepada siapa ketika terkena sawan dengan pertimbangan mathuk dan mandi (cocok dan manjur). Jika seseorang sudah pernah berobat kepada salah satu praktisi penyembuh dan kemudian mendapatkan kesembuhan maka ia akan mengatakan praktisi penyembuh tersebut mandi, namun jika tidak maka akan dianggap ora mathuk (tidak cocok) sehingga akan memilih untuk berobat kepada praktisi penyembuh yang lain.
Alasan Masyarakat Desa Boja Mempercayai Sawan
Masih adanya kepercayaan masyarakat terhadap faktor-faktor supranatural. Masyarakat Desa Boja memiliki pengetahuan mengenai sistem medis tradisional, yakni kepercayaan terhadap sawan dan praktek pengobatannya. Sistem medis tradisional sudah ada di Desa Boja jauh sebelum sistem medis modern banyak dijumpai seperti saat ini. Hal tersebut dapat terlihat dari adanya pewarisan ilmu pengobatan yang dimiliki oleh praktisi penyembuh tradisional. Kondisi tersebut membuktikan bahwa masyarakat Desa Boja lebih dahulu mengenal dukun atau orang pintar sebagai tempat berobat daripada dokter. Masyarakat yang berobat kepada praktisi penyembuh tradisional tidak hanya menerima kenyataan bahwa tubuhnya mengalami gangguan karena virus, tetapi juga karena gangguan gaib dan juga gangguan alam.
“Ketidakmampuan” sistem medis modern memberikan kesembuhan terhadap penyakit yang disebabkan oleh sawan juga mempengaruhi kepercayaan masyarakat Desa Boja terhadap sawan. Masyarakat yang mengaku pernah terkena sawan memiliki cerita masing-masing ketika mengalami hal tersebut, salah satunya adalah Ibu Sa’diah yang sudah berkali-kali terkena sawan, dan hingga saat ini beliau tetap menjalankan nasehat yang diberikan oleh praktisi penyembuh sawan yang mengobatinya dahulu.
“Aku ki wis bola bali kena sawan, ya sawan mayit kui. Rasane awake ora karuan kabeh, priksa bola-bali ning dokter ya ora mari. Mula aku diweling karo jenate Mbah Giyah, dukun sawan, nek layat ya nek mayite wis dikubur, aja mangan bancaan ewuhe wong mati”

“Saya itu sudah berkali-kali terkena sawan, ya sawan mayit itu. Badan rasanya tidak karuan, periksa berkali-kali ke dokter juga tidak sembuh-sembuh. Makanya saya diperingatkan oleh almarhumah Mbah Giyah, dukun sawan, kalau melayat sesudah jenazahnya dikuburkan, jangan makan makanan selamatan memperingati kematian” (Sa’diah, 5 Maret 2014 pukul 09.30 WIB)
Pengalaman terkena sawan membuat masyarakat percaya bahwa sawan memang benar-benar ada. Kepercayaan terhadap sawan didukung oleh adanya beberapa pantangan atau larangan yang tidak bisa dilanggar, jika pantangan tersebut dilanggar maka sawan akan kembali menempel pada tubuh. Masyarakat yang benar-benar mempercayai sawan akan menjaga hal tersebut, seperti apa yang dilakukan oleh Ibu Sa’diah.
Masyarakat yang mengaku pernah terkena sawan memiliki cerita masing-masing ketika mengalami hal tersebut, salah satunya adalah Ibu Sa’diah yang sudah berkali-kali terkena sawan, dan hingga saat ini beliau tetap menjalankan nasehat yang diberikan oleh praktisi penyembuh sawan yang mengobatinya dahulu.
“Aku ki wis bola bali kena sawan, ya sawan mayit kui. Rasane awake ora karuan kabeh, priksa bola-bali ning dokter ya ora mari. Mula aku diweling karo jenate Mbah Giyah, dukun sawan, nek layat ya nek mayite wis dikubur, aja mangan bancaan ewuhe wong mati”

“Saya itu sudah berkali-kali terkena sawan, ya sawan mayit itu. Badan rasanya tidak karuan, periksa berkali-kali ke dokter juga tidak sembuh-sembuh. Makanya saya diperingatkan oleh almarhumah Mbah Giyah, dukun sawan, kalau melayat sesudah jenazahnya dikuburkan, jangan makan makanan selamatan memperingati kematian” (Sa’diah, 5 Maret 2014 pukul 09.30 WIB)
Pengalaman terkena sawan membuat masyarakat percaya bahwa sawan memang benar-benar ada. Kepercayaan terhadap sawan didukung oleh adanya beberapa pantangan atau larangan yang tidak bisa dilanggar, jika pantangan tersebut dilanggar maka sawan akan kembali menempel pada tubuh. Masyarakat yang benar-benar mempercayai sawan akan menjaga hal tersebut, seperti apa yang dilakukan oleh Ibu Sa’diah.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai kepercayaan masyarakat terhadap penyakit yang disebabkan oleh sawan dan praktek pengobatannya di Desa Boja Kecamatan Boja Kabupaten Kendal, dapat disimpulkan bahwa: (1) Masyarakat Desa Boja mempercayai sawan sebagai penyebab penyakit yang berasal dari orang yang meninggal dunia dan pengantin. Sawan tidak hanya rentan menyerang anak-anak tetapi juga orang dewasa. Gejala sawan dapat berupa demam, lemas, kuku dan mata berwarna kekuningan, gatal, dan telinga berdengung. (2) Masyarakat Desa Boja mengklasifikasikan sawan menjadi tiga kategori, yakni sawan nganten, sawan mayit, dan sawan layon. Dua jenis sawan yakni sawan nganten dan sawan mayit dapat dicegah, sementara sawan layon tidak dapat dicegah karena masyarakat tidak bisa mengetahui secara persis penyebab sawan layon. Masyarakat Desa Boja memiliki dua cara untuk mengobati sawan, yaitu dengan self treatment (menggunakan jamu) dan perawatan kedukunan. (3) Masyarakat Desa Boja hingga saat ini masih mempercayai adanya sawan sebagai penyebab suatu peyakit karena masih adanya keyakinan masyaraakat terhadap faktor supranatural, “ketidakmampuan” sistem medis modern memberikan kesembuhaan terhadap penyakit yang disebabkan oleh sawan, dan sugesti masyarakat terhadap peran praktisi penyembuh sawan.

Daftar Pustaka
Djeno, S., Misnahati. 2004. Menyambut Kongres Nasional Epilepsi Pertama Di Semarang (Ayan Bukan Penyakit Kutukan). 2007, 18 November. [online]. Diambil dari: http://www.suaramerdeka.com/harian/0412/13/ ragam02.htm.
Foster dan Anderson. 2006. Antropologi Kesehatan. Jakarta: Universitas Indonesia.
Geertz, Clifford. 1989. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Moleong, Lexy J. 2007. Metodelogi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Purwadi. 2004. Dukun Jawa. Yogyakarta: Media Abadi.
Radam, Noerrid Haloei. 2001. Religi Orang Bukit. Yogyakarta: Yayasan Semesta.
Soehardi. 2000. Struktur Ganda Dalam Sistem Pengobatan Di Indonesia. Jurnal Humaniora. Volume 12. Nomer 1. hlm. 112-119
Sudardi, Bani. 2002. Konsep Pengobatan Tradisional Menurut Primbon Jawa. Humaniora. Volume 14. Nomer 1. Februari. hlm. 12-19
Suprihatin, Vitri S. 2010. Keputusan Pasien Memilih Pengobatan Alternatif Prana (Kasus Padepokan Partisan Kumbang Malam). Skripsi. Universitas Negeri Semarang.
Wicaksono, Harto. 2011. Ritus Pengobatan Dongke: Studi Etnomedisin Pada Masyarakat Desa Tanggulangin Kabupaten Tuban. Skripsi. Universitas Negeri Semarang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar