Selasa, 19 Agustus 2014

BEJA, UNTUNG, SLAMET



Beja, untung, dan slamet adalah kata-kata yang sering diucapkan oleh masyarakat Jawa. Beja dan untung memiliki makna yang sama, yakni beruntung, sedangkan slamet memiliki arti selamat. Masyarakat awam mengatakan bahwa wong pinter kalah karo wong beja (orang pintar kalah dengan orang yang beruntung), sementara motivator mengatakan bahwa keberuntungan adalah ketika kesempatan bertemu dengan kesiapan.
Berbagai pendapat tentang keberuntungan banyak berkembang di masyarakat, salah satunya adalah masyarakat Jawa. Bagi pembaca sekalian yang merupakan orang Jawa, atau tinggal di lingkungan masyarakat Jawa, pernahkah mendengar ungkapan beja dan untung dalam setiap peristiwa? Bagi masyarakat Jawa, setiap hari seseorang selalu mendapat kabegjan (keberuntungan) dari Tuhan, tanpa syarat apapun.
Beja dan untung selalu melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa, meskipun mereka sedang tertimpa musibah. Baru-baru ini ada kecelakaan yang menimpa salah seorang tetangga saya. Korbannya mengalami patah tulang dibagian lengan. Ketika mendapat kabar anaknya mengalami kecelakaan, Lik Ti (43th) seketika kaget dan menangis. Ia segera menyusul sang anak yang dikabarkan sudah berada di Puskesmas. Sesampainya di Puskesmas Lik Ti yang diantar oleh salah seorang keponakannya bertanya kepada pegawai Puskesmas, dimana korban kecelakaan dirawat. Atas petunjuk pegawai puskesmas tersebut Lek Ti berhasil menemukan ruang tempat anaknya dirawat.
“Oalah nang, apane iki sing lara?
“Jare dokter tanganku tugel iki.”
“Lha liyane ra ana sing lara?”
“Ora, iki tok.”
“Ya wis, syukur Alhamdulillah.. Beja mung tangane tok. Wis orapapa, isih diparingi slamet karo Gusti Allah.”
Terjemahan adalah demikian:
“Oalah nang, apanya ini yang sakit?”
“Kata dokter tanganku patah ini.”
“Lainnya tidak ada yang sakit?”
“Tidak, hanya ini.”
“Ya sudah, syukur Alhamdulillah.. Beruntung hanya tangannya saja. Sudah tidak apa-apa, masih diberi keselamatan oleh Allah.”
Peristiwa lain yang saya temui adalah ketika ada anak kecil berusia empat tahun yang jatuh dari sepeda. Lukanya lumayan banyak karena jatuh pada jalan yang berkerikil dan berpasir, disebelah tempat anak tersebut jatuh, ada parit yang cukup dalam. Orang tua si anak mengatakan “untung kok ora nyemplung kalen, nek nyemplung apa ra tambah bendhas.” (untung kok tidak jatuh di parit, kalau jatuh di parit kan lukanya tambah banyak).
Ungkapan-ungkapan yang menggunakan kata beja dan untung seringkali diucapkan oleh masyarakat Jawa dalam berbagai hal, termasuk ketika terkena musibah. Ini menunjukkan bahwa budaya Jawa mengajarkan masyarakatnya untuk selalu mensyukuri apa yang diberikan oleh Tuhan, bahkan kematian sekalipun. Seperti ungkapan “untung kok matine gampang” (beruntung meninggalnya dimudahkan), “untung kok ndang dipundhut, nek lara terus kan mesakke” (beruntung segera diambil, kalau sakit terus kan kasihan).
Keberuntungan tidak saja dilihat sebagai hal yang serba nikmat, serba mudah, tetapi lebih kepada bagaimana kita memaknai suatu keadaan. Bagaimana kita dapat mengambil hal positif dari segala sesuatu yang terjadi, bahwa selalu ada hal yang bisa disyukuri dari setiap keadaan.
Manusia-manusia Jawa berserah, bahwa apapun yang terjadi padanya adalah semata karena kehendak Tuhan, dan Tuhan tidak mungkin menjerumuskan umatnya. Tuhan selalu memberikan yang terbaik bagi umatnya, sehingga apapun bentuk pemberian-Nya harus senantiasa disyukuri. Manusia tidak boleh meri (iri hati) dan maido (protes) terhadap apa yang terjadi pada dirinya. Orang tidak akan menemukan ketentraman hati ketika meri dan selalu maido. Apapun yang ada dihadapannya selalu disalahkan, dan menganggap bahwa semua yang dialaminya tidak adil.
Budaya Jawa yang selalu menyertakan kata beja dan untung dalam setiap peristiwa, secara tersirat mengingatkan kita bahwa subjektifitas manusia menganggap bahwa kehidupan dunia ini tidak adil, namun Tuhan telah mengaturnya sedemikian rupa, agar dunia ini seimbang. Keseimbangan inilah yang bisa membuat semua orang memiliki kedudukan yang sama. Lalu jika semua orang kedudukannya sama, kenapa harus meri? Kenapa harus maido?
Slamet.............
Anak-anak di Jawa pasti sudah kenyang dengan bekal selamat. Setiap akan pergi orang tua selalu berpesan “nyangoni slamet” (membekali keselamatan). Sangu atau bekal tidak hanya berupa uang atau benda yang dapat digunakan sewaktu-waktu ketika bepergian, tetapi juga doa.
Doa merupakan bentuk kepasrahan terhadap Sang Illahi, bahwa apapun yang terjadi adalah merupakan kuasa Tuhan, sehingga manusia tidak boleh takabur. Manusia hanya bisa nenuwun (meminta) agar senantiasa diberi keselamatan.
Slamet merupakan hal pertama yang diminta oleh setiap manusia. Slamet donya lan akherat (selamat dunia dan akherat). Slamet adalah keadaan dimana seseorang terlindung dari segala bahaya, atau jika terancam bahaya dapat menghindar, dapat meloloskan diri dari segala bentuk petaka. Tidak ada seseorang yang dapat menjamin keselamatan orang lain, bahkan dirinya sendiri. Keselamatan hanya kuasa Tuhan, sehingga manusia hanya  dapat memintanya.
Bagi manusia-manusia Jawa, ketika bepergian seseorang tidak hanya membutuhkan uang atau makanan untuk bekal, tetapi lebih daripada itu seseorang membutuhkan doa, khususnya doa keselamatan. Jika Tuhan sudah mengaruniakan keselamatan, meski tak berbekal materi manusia akan tetap dapat hidup kecukupan. “Ndilalah ana wae sing nulung” (kebetulan ada saja yang menolong).
Pitulungan kui mesthi dumugi saka Gusti, ning lantarane macem-macem. Mula ta mula, yen tangamu disilih Gusti kanggo nulungi bebrayan aja njur gembedhe. Manungsa mono mung sak drima nglakoni, ora kuasa apa-apa.”
“Pertolongan itu pasti datang dari Tuhan, tetapi perantaranya bermacam-macam. Maka dari itu, kalau tanganmu dipinjam oleh Tuhan untuk menolong sesama jangan lantas sombong. Manusia itu hanya semata-mata menjalani, tidak memiliki kuasa apa-apa.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar