Beja, untung, dan slamet adalah kata-kata yang sering diucapkan oleh masyarakat Jawa.
Beja dan untung memiliki makna yang sama, yakni beruntung, sedangkan slamet
memiliki arti selamat. Masyarakat awam mengatakan bahwa wong pinter kalah karo wong beja (orang pintar kalah dengan orang
yang beruntung), sementara motivator mengatakan bahwa keberuntungan adalah
ketika kesempatan bertemu dengan kesiapan.
Berbagai pendapat tentang
keberuntungan banyak berkembang di masyarakat, salah satunya adalah masyarakat
Jawa. Bagi pembaca sekalian yang merupakan orang Jawa, atau tinggal di
lingkungan masyarakat Jawa, pernahkah mendengar ungkapan beja dan untung dalam
setiap peristiwa? Bagi masyarakat Jawa, setiap hari seseorang selalu mendapat kabegjan (keberuntungan) dari Tuhan,
tanpa syarat apapun.
Beja dan untung selalu melekat dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat Jawa, meskipun mereka sedang tertimpa musibah. Baru-baru
ini ada kecelakaan yang menimpa salah seorang tetangga saya. Korbannya mengalami
patah tulang dibagian lengan. Ketika mendapat kabar anaknya mengalami
kecelakaan, Lik Ti (43th) seketika kaget dan menangis. Ia segera menyusul sang
anak yang dikabarkan sudah berada di Puskesmas. Sesampainya di Puskesmas Lik Ti
yang diantar oleh salah seorang keponakannya bertanya kepada pegawai Puskesmas,
dimana korban kecelakaan dirawat. Atas petunjuk pegawai puskesmas tersebut Lek
Ti berhasil menemukan ruang tempat anaknya dirawat.
“Oalah nang, apane iki sing lara?
“Jare dokter tanganku tugel iki.”
“Lha liyane ra ana sing lara?”
“Ora, iki tok.”
“Ya wis, syukur Alhamdulillah.. Beja mung tangane tok. Wis
orapapa, isih diparingi slamet karo Gusti Allah.”
Terjemahan adalah
demikian:
“Oalah nang, apanya ini
yang sakit?”
“Kata dokter tanganku
patah ini.”
“Lainnya tidak ada yang
sakit?”
“Tidak, hanya ini.”
“Ya sudah, syukur
Alhamdulillah.. Beruntung hanya tangannya saja. Sudah tidak apa-apa, masih
diberi keselamatan oleh Allah.”
Peristiwa lain yang saya temui
adalah ketika ada anak kecil berusia empat tahun yang jatuh dari sepeda.
Lukanya lumayan banyak karena jatuh pada jalan yang berkerikil dan berpasir,
disebelah tempat anak tersebut jatuh, ada parit yang cukup dalam. Orang tua si
anak mengatakan “untung kok ora nyemplung
kalen, nek nyemplung apa ra tambah bendhas.” (untung kok tidak jatuh di
parit, kalau jatuh di parit kan lukanya tambah banyak).
Ungkapan-ungkapan yang
menggunakan kata beja dan untung seringkali diucapkan oleh masyarakat Jawa
dalam berbagai hal, termasuk ketika terkena musibah. Ini menunjukkan bahwa
budaya Jawa mengajarkan masyarakatnya untuk selalu mensyukuri apa yang
diberikan oleh Tuhan, bahkan kematian sekalipun. Seperti ungkapan “untung kok matine gampang” (beruntung
meninggalnya dimudahkan), “untung kok
ndang dipundhut, nek lara terus kan mesakke” (beruntung segera diambil,
kalau sakit terus kan kasihan).
Keberuntungan tidak saja dilihat
sebagai hal yang serba nikmat, serba mudah, tetapi lebih kepada bagaimana kita
memaknai suatu keadaan. Bagaimana kita dapat mengambil hal positif dari segala
sesuatu yang terjadi, bahwa selalu ada hal yang bisa disyukuri dari setiap
keadaan.
Manusia-manusia Jawa berserah,
bahwa apapun yang terjadi padanya adalah semata karena kehendak Tuhan, dan
Tuhan tidak mungkin menjerumuskan umatnya. Tuhan selalu memberikan yang terbaik
bagi umatnya, sehingga apapun bentuk pemberian-Nya harus senantiasa disyukuri.
Manusia tidak boleh meri (iri hati)
dan maido (protes) terhadap apa yang
terjadi pada dirinya. Orang tidak akan menemukan ketentraman hati ketika meri dan selalu maido. Apapun yang ada dihadapannya selalu disalahkan, dan
menganggap bahwa semua yang dialaminya tidak adil.
Budaya Jawa yang selalu
menyertakan kata beja dan untung dalam setiap peristiwa, secara tersirat
mengingatkan kita bahwa subjektifitas manusia menganggap bahwa kehidupan dunia
ini tidak adil, namun Tuhan telah mengaturnya sedemikian rupa, agar dunia ini
seimbang. Keseimbangan inilah yang bisa membuat semua orang memiliki kedudukan
yang sama. Lalu jika semua orang kedudukannya sama, kenapa harus meri? Kenapa harus maido?
Slamet.............
Anak-anak di Jawa pasti sudah
kenyang dengan bekal selamat. Setiap akan pergi orang tua selalu berpesan “nyangoni slamet” (membekali
keselamatan). Sangu atau bekal tidak
hanya berupa uang atau benda yang dapat digunakan sewaktu-waktu ketika
bepergian, tetapi juga doa.
Doa merupakan bentuk kepasrahan
terhadap Sang Illahi, bahwa apapun yang terjadi adalah merupakan kuasa Tuhan,
sehingga manusia tidak boleh takabur. Manusia hanya bisa nenuwun (meminta) agar senantiasa diberi keselamatan.
Slamet merupakan
hal pertama yang diminta oleh setiap manusia. Slamet donya lan akherat (selamat dunia dan akherat). Slamet adalah keadaan dimana seseorang
terlindung dari segala bahaya, atau jika terancam bahaya dapat menghindar,
dapat meloloskan diri dari segala bentuk petaka. Tidak ada seseorang yang dapat
menjamin keselamatan orang lain, bahkan dirinya sendiri. Keselamatan hanya
kuasa Tuhan, sehingga manusia hanya
dapat memintanya.
Bagi manusia-manusia Jawa, ketika
bepergian seseorang tidak hanya membutuhkan uang atau makanan untuk bekal,
tetapi lebih daripada itu seseorang membutuhkan doa, khususnya doa keselamatan.
Jika Tuhan sudah mengaruniakan keselamatan, meski tak berbekal materi manusia
akan tetap dapat hidup kecukupan. “Ndilalah
ana wae sing nulung” (kebetulan ada saja yang menolong).
“Pitulungan kui mesthi dumugi saka Gusti, ning lantarane macem-macem.
Mula ta mula, yen tangamu disilih Gusti kanggo nulungi bebrayan aja njur
gembedhe. Manungsa mono mung sak drima nglakoni, ora kuasa apa-apa.”
“Pertolongan itu pasti datang
dari Tuhan, tetapi perantaranya bermacam-macam. Maka dari itu, kalau tanganmu
dipinjam oleh Tuhan untuk menolong sesama jangan lantas sombong. Manusia itu
hanya semata-mata menjalani, tidak memiliki kuasa apa-apa.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar