Cangkem adalah
istilah Jawa yang identik dengan kasar. Cangkem
berarti mulut. Orang yang banyak bicara mengenai hal tidak penting, atau
hal-hal yang cenderung negatif, disebut dengan istilah cangkeman atau kakehan
cangkem (banyak omong). Jika istilah tersebut disandingkan dengan kerata basa atau akronim dari cangkem itu sendiri, maka penggunaan
istilah cangkeman atau kakehan cangkem kurang tepat.
Cangkem:
dicancang supaya mingkem (mulut: dibungkam supaya diam). Jika
diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia memang terkesan kurang luwes, namun
terjemahan bebasnya kurang lebih adalah demikian. Makna dari cangkem itu
sendiri adalah agar manusia tidak terlalu banyak bicara. Manusia diperkenankan
untuk bicara mengenai hal-hal yang baik dan penting saja. Manusia tidak
semestinya terlalu banyak bicara sehingga mengeluarkan kalimat-kalimat yang
tidak perlu. Pembicaraan yang terlalu panjang justru akan melebar pada topik
lain, misalnya justru membicarakan keburukan orang lain. Dalam menyampaikan
suatu gagasan, manusia biasanya tidak terhindar dari luput (salah), kadang menambahi, dan kadang juga mengurangi. Untuk
meminimalisir kaluputan (kesalahan)
yang ditimbulkan dari pembicaraan, maka manusia tidak diperkenankan untuk
banyak bicara. Masyarakat Jawa memiliki unen-unen
(pepatah) “Ajining dhiri gumantung ana ing lathi” (harga diri manusia
tergantung pada ucapannya).
Manusia-manusia yang banyak
bicara atau kakehan omong, justru
menurunkan wibawa. Manusia akan lebih dihargai ketika isi pembicaraannya sithik tur mentes (sedikit juga berisi)
atau sering disebut singkat dan padat. Manusia Jawa yang dikenal memiliki tata
karma dan sopan santun, dianjurkan untuk selalu bicara dengan halus, tidak
berteriak, dan tidak menyinggung orang lain. Manusia seyogyanya berbicara
dengan hati, sehingga mampu mengerti tanpa ada banyak suara yang keluar dari
mulut. Karena banyak suara berarti gaduh, dan gaduh sudah pasti tidak tenang,
padahal tujuan dari hidup manusia adalah memperoleh ketenangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar